Mutiara Hikmah /
Follow daktacom Like Like
Selasa, 24/10/2017 10:45 WIB

Meninjau Konsep Trinitas: Perspektif Ketuhanan YME

Garuda Pancasila
Garuda Pancasila
Oleh: Khairul Anwar, Kandidat Ph.D di CASIS - UTM
 
Sejak awal, salah satu tujuan utama kedatangan Agama Islam adalah meluruskan kepercayaan yang telah melenceng jauh dari misi risalah kenabian sejak Nabi Adam ‘alayhi ‘l-ssalām hingga baginda Nabi Muhammad ṣalla’Llāhu ‘alayhi wa sallam sebagai nabi penutup. Risalah itu adalah Tauhid. 
 
Proses pelurusan akidah ini pada hakikatnya adalah pembetulan langsung dari Allah subḥānahū wa ta‘ālā agar insan kembali ke jalan yang benar (ḥaq). Dalam hal ini, konsep ketuhanan Trinitas yang dianut umat Kristen termasuk dari sekian banyak ajaran yang dikoreksi oleh wahyu al-Qur’an. 
 
Pada diskursus keagamaan mutakhir, terdapat kecenderungan untuk mendalami dan membuat tamsilan doktrin Trinitas berdasarkan pemahaman konsep Tauhid dalam pandangan-alam (worldview) Islam. Dengan maksud demikian itu, diperlukan sikap yang adil dan bijaksana dalam menguraikan hakikat kedua konsep tersebut sembari mempertimbangkan segala konsekuensinya.
 
Berdasarkan tradisi keagamaan Kristen di Barat, doktrin Trinitas dibentuk oleh sejarah yang berfaham sekuler, yang maksudnya: ia lahir dari sebuah kesepakatan yang tidak diajarkan oleh Nabi ‘Īsā al-Masīḥ ‘alayhi ‘l-ssalām melalui petunjuk wahyu dari Tuhan. Tatanan agama Kristen pada aspek doktrin, teologi, bahasa, dan geografi, selama berabad-abad lamanya, hanyut dalam perpecahan (schism) antara Kristen Barat (Latin) dan Kristen Timur (Greece), yakni Katolisisme Barat dan Orthodoksi Timur; terjadi persaingan untuk mendapat dukungan Paus Gereja dan hak peletakan kebijakan antara kekaisaran Constantine (w. 337) dan kekaisaran Carolingian oleh Raja Frank Karl der Grosse (w. 814); perbedaan sikap pada kontroversi penyisipan "filioque" ke dalam Kredo Nicea yang terkait langsung dengan konsep Trinitas pada tahun 447 M; serta pertentangan doktrin-doktrin yang dianggap bid‘ah (heretics) oleh pihak Paus Gereja yang memicu beberapa kali diadakannya Council of Nicaea. 
 
Bahkan perselisihan doktrin keagamaan ini semakin memanas pada abad ke-9 Masehi, tatkala coba dimanifestaikan dalam bentuk simbol (the iconoclast controversy) untuk kepentingan peribadatan di era Ratu Irene Sarantapechaina (w. 803) hingga kekaisaran Theophilus (w. 842). Hingga di abad pertengahan, doktrin-doktrin keagamaan Kristen selalu mengalami konflik ketika berhadapan dengan sains Barat, dan bahkan mereka semakin diabaikan tatkala revolusi industri modern bangkit di Barat pada abad ke-18.  
 
Hakikat dari yang demikian itu jauh berbeda dengan konsep Tauhid dalam pandangan-alam (worldview) Islam yang sumber asalnya adalah wahyu Ilahi. Allah subḥānahū wa ta‘ālā sendiri yang mengenalkan perihal kedirian-Nya beserta sifat-sifat-Nya melalui kitab suci al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad ṣalla’Llāhu ‘alayhi wa sallam. 
 
Misalnya, pada ayat al-Qur’an “wa mā min ilāhin illā ilāhun wāḥid”, Imām al-Rāzī (w. 925) menjelaskan tafsiran ayat tersebut sebagai jawaban atas klaim ketuhanan Trinitas, “Laqad kafara al-ladhīna qālū inna AlLāha thālithu thalāthah,” bahwa tidak ada wujud hakiki kecuali Allah Yang Maha Esa.
 
Konsep ketuhanan agama Islam ini disabdakan secara jelas oleh baginda RasululLah ṣalla’Llāhu ‘alayhi wa sallam dalam ḥadīth, “lilLāhi tis‘atun wa tis‘ūna isman.” Kemudian oleh kalangan ulama agung Muslim semisal Imām al-Ghazālī (w. 1111) dan Imām al-Qurṭubī (w. 1273) mensyarah makna Asmā’ al-Ḥusnā ini bertujuan untuk membedakan antara Allah subḥānahū wa ta‘ālā sebagai Tuhan (Rabb) atau tuhan yang disembah (Ilāh) dengan makhluk ciptaan yang diangkat seolah-olah menjadi tuhan. Dalam sejarah dan peradaban Islam, menurut SMN al-Attas, metode pengetahuan Tauhid (Tawḥīd method of knowledge) menjadi pondasi asas bagi saintis Muslim. 
 
Pengetahuan Tauhid tersebut adalah pengetahuan yang menyatukan jiwa (soul)  untuk memahami makna hakikat (reality) dan kebenaran (truth) melalui pengalaman langsung (mushāhadah), yang puncaknya adalah mengenal Allah subḥānahū wa ta‘ālā.
 
Menafsirkan doktrin Trinitas dari sudut pemahaman Tauhid dalam pandangan-alam (worldview) Islam, pada tahap lebih mendalam, mendesak kita untuk membahas konsep kewujudan (wujūd), esensi (dhāt), substansi (jawhar), aksidental (araḍ), serta ruang dan waktu (makān wa waqt). Hal itu karena melibatkan aspek kemanusiaan (nāsūt) Nabi ‘Īsā al-Masīh sebagai Tuhan Anak, aspek ketuhanan (lāhūt) sebagai Tuhan Bapak, dan perantara keduanya sebagai Tuhan Rūḥ al-Qudus.
 
Ketika argumen tersebut diterima oleh kalangan tertentu—bahwa doktrin Trinitas dapat dijelaskan dan ditafsirkan melalui pemahaman Tauhid Islam, maka logika keyakinan yang semestinya diterima adalah mengakui Keesaan Tuhan seutuhnya tanpa ada unsur keserikatan aspek ketuhanan bagi-Nya (lā sharīka lahū). 
 
Dengan kata lain, bertauhid kepada Tuhan Yang Esa itu mesti menafikan kepercayaan kepada tuhan-tuhan lainnya dalam bentuk peristilahan maupun simbolisasi. Jika tidak demikian, maka sesungguhnya mereka secara tidak sadar telah terperangkap ke dalam suatu kepercayaan yang disebut dengan transcendent unity of religion, yang juga perlu dijelaskan asas-asas kebenarannya secara saintifik.
 
Di samping itu, pembenaran atas argumen ini justru menjadi pukulan telak dalam sejarah dan tradisi agama Kristen—yang meliputi era Romawi, Kristen Ortodoks dan Protestan, para pembesar Paus Gereja, kekaisaran Constantine dan Charlemagne, abad pertengahan, hingga teolog Kristen abad modern—bahwa doktrin Trinitas dianggap jelas maknanya setelah dielaborasi melalui konsep Tauhid dalam pandangan-alam (worldview) Islam. 
 
Hal ini sekali lagi menegaskan bahwa doktrin Trinitas dibentuk oleh sejarah dan kemungkinan akan terus mengalami perubahan (change) dan perkembangan (development) penafsiran makna.
 
Fenomena kesejarahan ini, pernah dianalisis oleh E.L. Mascall (w. 1993 M) ketika menggambarkan perubahan yang terjadi dalam doktrin Kristen. Ia berkata, “Instead of the world which converted to Christianity, it was Christian which has been changed by the world.” 
 
Pandangan ini sama dengan pernyataan ‘Abd al-Jabbār al-Hamadhānī (w. 1025 M) ratusan tahun yang lalu bahwa orang-orang Romawi sejatinya tidak pernah memeluk agama Kristen, bahkan mereka telah menolak dakwah al-Masīḥ, padahal hakikatnya orang-orang Kristen sendiri yang terpengaruh menjadi Romawi dan murtad dari agama asal al-Masīḥ. Kenyataan ini juga turut diamini oleh Lyman Abbot (w. 1922). Ia dengan lugas menamakan judul bukunya “The Evolution of Christianity”.
 
Berdasarkan penjelasan tersebut, usaha untuk mencari-cari titik temu antar-umat beragama selayaknya tidak memaksakan pemahaman akidah suatu agama untuk menafsirkan doktrin agama lain jika hakikat masing-masing ajarannya memang berbeda, apalagi jika maksudnya sekadar membenarkan doktrin agama lain tanpa mempertimbangkan konsekuensinya. 
 
Dalam konteks negara Indonesia, kandungan makna sila yang ke-2, kemanusiaan yang adil dan beradab, cukup menjadi panduan bagi kita untuk saling memahami dan menghormati kepercayaan agama lain sebagaimana yang termaktub dalam sejarah, tradisi, dan pandangan-alam (worldview) masing-masing. Namun, untuk tujuan mencari kebenaran, kita masih bisa berdiskusi dan bertukar pandangan secara adil dan ilmiah. 
 
Wallāhu A‘lam.
 
Daftar Pustaka
 
‘Abd al-Jabbār al-Hamadhānī, Tathbīt Dalā’il al-Nubuwah (Beirut: Dār al‘Arabiyyah, 1966), p. 173; Beliau mengungkapkannya sebagai berikut: “إن الروم ما تنصرت ، ولا أجابت المسيح ؛ بل النصارى ترومت ، وارتدت عن دين المسيح”.
 
Abū ʿAbdilLāh Abū Bakr al-Anṣārī al-Qurṭubī, al-Asnā fī Sharḥ Asmā’ilLāh al-Ḥusnā (Beirut: al-Maktabah al-‘Aṣriyyah, 2005), c. 1. 
 
Abū Ḥāmid ibn Muḥammad ibn Muḥammad al-Ghazālī, al-Maqṣad al-‘Asnā fī Sharḥ Ma‘ānī Asmā’ al-Ḥusnā (Beirut: Dār Ibn Ḥazm, 2003), c. 1.
 
Eric Lionel Mascall, The Secularization of Christianity: An Analysis and A Critique (New York: Holt, Rinehart and Winston, 1966), p. 101-102.
 
David Bentley Hart, The Story of Christianity: A History of 2,000 Years of the Christian Faith (London: Quercus, reprint 2013, 2009), h. 173-174.
 
John William Draper, History of the Conflict between Religion and Science (London: Henry S. King & Co, reprint 2009, 1875), c. 2. 
 
Peter Biller, “Christians and Heretics”, dalam Christianity in Western Europe c. 1100-c. 1500 (New York: Cambridge University Press, 2009), v. 4, h. 170. 
 
Lyman Abbot, The Evolution of Christianity (New York: University of Cambridge, reprint 2009, 1892), v. 1.
 
Muḥammad ibn ‘Umar Fakhr al-Dīn al-Rāzī, al-Tafsīr al-Kabīr wa Mafātiḥu al-Ghayb (Beirut: Dār al-Fikr, 1981), j. 12, h.63-64.
 
Shihāb al-Dīn Abū al-Faḍl ibn Ḥajar al-ʿAsqalānī, Fatḥ al-Bārī: Sharḥ Ṣaḥīḥ al-Bukhārī, (Riyad: Dār al-Kutub al-Salafiyyah), no 2736, j. 5, h. 354.
 
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Secularism (Kuala Lumpur: International Institute of Islamic Thought and Civilization-ISTAC, 1993), bab II.
 
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islām: An Exposition of the Fundamental Elements of the Worlview of Islam (Kuala Lumpur: Universiti Teknologi Malaysia-UTM, 2014), h. 3, 183.
 
The Holy Bible: The New King James Version (The Gideon International in Australia, 1987), Kitab 1 Yohanes 5:7 [h. 1196]; Galatia 3:20 [h. 1142]; Kitab 1 Korintus 12:6 [h. 1126]; Zechariah 14:9 [h. 924]; Yohanes 17:22 [h. 1055].
 
Tia M. Kolbala, “Latin and Greek Christian”, dalam Early Medieval Christianities c. 600–c. 1100 (New York: Cambridge University Press, 2009), v. 3, h. 219
Editor :
Sumber : nuun.id
- Dilihat 4320 Kali
Berita Terkait

0 Comments