Parlemen / DPR RI /
Follow daktacom Like Like
Jum'at, 20/10/2017 09:15 WIB

Pemerintah Diminta Jangan Gegabah Mewajibkan E-Toll

Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono
Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono
JAKART_DAKTACOM: Anggota Komisi VI DPR RI Bambang Haryo Soekartono menolak dengan tegas kebijakan pemerintah yang mewajibkan penggunaan E-Toll saat berteransaksi di Gardu Tol Otomatis (GTO). 
 
Karena kebijakan tersebut tanpa disadari oleh banyak pihak telah merugikan masyarakat. Pemilik dan pengguna kartu e-Toll, tanpa sadar sesungguhnya telah diambil paksa uangnya oleh pihak pengelola jalan tol dan bank yang menerbitkan kartu e-Toll.
 
Ditambah lagi dengan dana saldo e-Toll yang mengendap di bank karena tidak digunakan pemilik kartu, dan kemudian dapat diputar oleh bank untuk kepentingan bisnisnya. Bahkan Bambang mencurigai pemberlakuan e-Toll oleh pemerintah bekerjasama dengan para perbankan sebagai sarana merampok uang rakyat. Dia menegaskan agar pemerintah tidak gegabah dalam mewajibkan rakyat menggunakan e-Toll. 
 
"Mereka sudah dipersulit dengan pengisian ulang kartu e-Toll itu sendiri, yang pertama harganya sangat mahal, kartunya itu dijual tidak masuk akal. Kartu dijual ada yang 20 ribu, ada yang 10 ribu ada yang 25 ribu, kemarin sopir saya beli 25 ribu," keluh Bambang saat diwawancarai di ruang kerjanya, Gedung Nusantara I, Kamis (19/10). 
 
Selain itu, menurutnya kerugian yang akan dialami masyarakat dengan uang elektronik, apabila kartu tersebut hilang, maka sejumlah uang yang ada di dalamnya juga akan ikut lenyap. Dia juga beranggapan kartu e-Toll tidak boleh diperjual belikan, seharusnya kartu e-Toll masuk di dalam infastruktur yang harus disediakan oleh penyedia layanan jalan tol. 
 
"Karena dia punya kepentingan, dengan adanya kartu itu dia bisa menghemat sumber daya manusia. Jadi harus menyediakan infrastruktur itu jadi satu beserta kartunya. Ini juga memberikan kesempatan untuk penyedia fasilitas itu melakukan korupsi, atau penyelewengan dalam jual beli kartu," papar Bambang. 
 
Di sisi lain kebijakan ini dinilai merugikan pekerja dan masyarakat karena bertentangan dengan Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang. Transaksi melalui Gardu Tol Otomatis (GTO) hanya dapat dilakukan pengguna jalan yang memiliki kartu elektronik tol (e-Toll Card). Padahal, fitur e-Toll hanya bersifat sebagai pengganti uang tunai dan bukan merupakan alat pembayaran yang sah sebagaimana diatur dalam UU Mata Uang.
 
Jika ada yang menolak uang kertas atau logam, maka hal itu adalah pidana. Termasuk jika pengelola jalan tol menolak uang kertas atau logam. Pemerintah dan lembaganya tidak boleh menolak mata uang rupiah. Kita hanya mengenal uang kertas dan uang logam, tidak ada uang elektronik. 
 
Lebih lanjut, politisi dari F Partai Gerindra ini beranggapan, kondisi diperparah dengan kebijakan GTO yang dipaksakan,  akan ada 1500 kariawan di jalan tol yang berasal dari Jasa Marga, Citra Marga, JLJ, JLO, dan lainnya yang terancam akan kehilangan pekerjaan. 
Editor :
Sumber : dpr.go.id
- Dilihat 575 Kali
Berita Terkait

0 Comments